BOLTIM — Suasana haru bercampur amarah menyelimuti kawasan tambang rakyat di Desa Tobongon, Kecamatan Modayag, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, usai penutupan lokasi tambang yang selama ini menjadi tumpuan ribuan keluarga.
Penutupan itu dipicu oleh sengketa lahan antara dua tokoh lokal, AM dan IS, yang kini kian memanas.
Di antara suara protes warga, tampak Peni Mamonto, seorang buruh angkut tambang, tak kuasa menahan tangis. Ia menyuarakan kegelisahan para pekerja yang kini kehilangan mata pencaharian.
“Saya cuma buruh angkut, kerja bantu bawa hasil tambang dari dalam keluar lubang. Kalau lubangnya ditutup otomatis saya kehilangan pekerjaan. Gaji saya harian, dan sekarang saya sudah beberapa hari nganggur. Bagaimana dengan keluarga kami? Kami minta agar ada bantuan Pak Gubernur untuk kejelasan. Jangan cuma ditutup tapi tidak ada jalan keluar bagi kami yang terdampak langsung,” keluh Peni, dengan suara bergetar.
Di balik penutupan tambang ini, tersimpan kisah perselisihan tajam antara AM, oknum anggota DPRD Boltim dari Partai Nasdem, dengan IS, pengusaha tambang lokal.
Perselisihan keduanya meruncing hingga berujung pada somasi hukum yang dilayangkan Firman Mustika & Partners, kuasa hukum Hasmawati Mamonto — ibunda IS.
Somasi bernomor 01/FMP/VII/2025, tertanggal 7 Juli 2025 itu menuding AM menyalahgunakan wewenang sebagai pejabat publik dan terlibat konflik kepentingan dalam sengketa lahan tambang.
Dalam surat somasi juga disebutkan bahwa AM menolak hasil pengukuran lahan yang telah dilakukan dan bahkan mengancam membawa masalah ini ke Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Utara.
Firman Mustika & Partners mengecam langkah AM yang dinilai provokatif, sebab memicu penutupan tambang yang selama ini berjalan atas dasar norma sosial dan adat masyarakat, meskipun memang belum memiliki izin usaha pertambangan (IUP).
“Tindakan ini sangat tidak elok dan berpotensi menimbulkan konflik sosial antara masyarakat tambang dengan Pemerintah Kabupaten Boltim,” tegas Firman dalam keterangannya.
Kini, masyarakat Tobongon hanya bisa berharap pada campur tangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, khususnya Gubernur Yulius Selvanus Komaling, untuk segera turun tangan mencari solusi.
Ribuan kepala keluarga yang menggantungkan hidup dari tambang rakyat kini terancam kehilangan pendapatan dan terjerumus dalam krisis ekonomi.
“Jangan biarkan kami lapar hanya karena sengketa dua orang yang punya kuasa. Kami ini rakyat kecil,” seru seorang warga lain yang turut menggantungkan hidup di lokasi tambang rakyat tersebut.
Jika konflik ini tak segera diselesaikan, dikhawatirkan gejolak sosial semakin membesar dan menambah deretan masalah di wilayah tambang rakyat yang selama ini menjadi denyut ekonomi lokal.
(*)