KOTAMOBAGU – Tokoh masyarakat (Tokmas) sekaligus mantan Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Syachrial Damopolii, mengecam aksi ritual adat yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) bernama AMABOM di wilayah pertambangan resmi.
Ia meminta Aparat Penegak Hukum (APH) segera memeriksa legalitas ormas tersebut dalam melaksanakan ritual adat di area tersebut.
“Amabom perlu ditelusuri melalui DPRD Bolaang Mongondow. Apakah benar Amabom secara resmi telah ditetapkan melalui peraturan daerah (Perda) sebagai satu-satunya lembaga adat yang layak melakukan ritual-ritual adat di area pertambangan seperti ini,” tegas Syachrial, Senin, 9 Desember 2024.
Syachrial juga mempertanyakan sikap pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Bolaang Mongondow terkait kegiatan tersebut. Menurutnya, kegiatan semacam itu memerlukan izin resmi dari pemerintah dan APH.
“Pertambangan resmi adalah tanggung jawab pemerintah. Apa ada izin pemerintah dan APH untuk melakukan ritual-ritual di wilayah pengawasan pemerintah dan wilayah hukum Polres Kotamobagu?,” lanjutnya.
Sementara itu, Asisten I Pemkab Bolaang Mongondow, Deker Rompas, memberikan tanggapan terkait persoalan tanah adat yang menjadi salah satu alasan di balik pelaksanaan ritual tersebut. Ia menjelaskan bahwa hingga saat ini belum ada persetujuan resmi dari Pemerintah Provinsi Sulut mengenai penetapan tanah adat.
“Terkait syarat tanah adat sudah kami bicarakan dan usulkan ke Provinsi Sulut, namun syarat itu belum terpenuhi. Penetapan tanah adat membutuhkan banyak persyaratan, bukan hanya seperti membalikkan telapak tangan,” ujar Deker Rompas.
Ia juga menegaskan bahwa hingga kini tidak ada pemberitahuan resmi ke pemerintah daerah terkait kegiatan ritual yang dilakukan di wilayah tersebut.
“Penetapan tanah adat harus memiliki Surat Keputusan (SK) yang melampirkan dokumen-dokumen resmi. Proses ini melibatkan lembaga adat baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, dan hingga saat ini belum ada keputusan dari Provinsi Sulut terkait status tanah adat tersebut,” jelasnya.
Kegiatan ritual adat di wilayah pertambangan resmi ini menjadi sorotan berbagai pihak, mengingat dampaknya pada tata kelola wilayah dan hukum yang berlaku. Pemerintah daerah bersama DPRD dan APH diharapkan segera mengambil langkah untuk menyelesaikan polemik ini.
(*).